بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Redaksi Buletin Istiqomah
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat  terbesar dalam sejarah hidup kita, dimana dengan kasih sayang dan petunjuk dari Allah Ta’ala, kita bisa memeluk satu-satunya agama yang benar dan diakui oleh Tuhan Semesta Alam yakni Agama Islam yang mulia ini. Dengan agama ini kita dapat melalui kehidupan  diatas jalan yang benar, kita dapat merasakan ketentraman hidup, serta mempunyai
benteng dari godaan syaitan yang senantiasa berusaha menjerumuskan kita dalam lembah kehinaan. Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga diri kita untuk terus memeluk agama Islam hingga kita meninggal  kelak, sehingga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari  siksa yang abadi di akherat kelak.

Pembaca yang budiman, mungkin banyak dari kita tidak menyadari nikmat berupa agama Islam ini karena kita belum pernah merasakan mati, sehingga belum kita rasakan sendiri janji-janji Allah Ta’ala akan adanya kehidupan setelah kita mati. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala banyak menerangkan bermacam-macam kejadian setelah kematian seorang manusia. Mereka yang di dunia senantiasa melakukan kebaikan, ketaatan dan mati dalam keadaan Islam akan mendapatkan kebahagiaan. Dan bagi pelaku kejelekan, kekafiran, serta tindakan durhaka lainnya, maka akan mendapatkan siksa. Nabi Muhammad  juga menerangkan dengan jelas, bahwa setelah seorang manusia mati, maka akan datang  kepadanya malaikat, yang akan menguji setiap manusia dengan 3 pertanyaan, “Siapa Tuhanmu?, Siapa Nabimu, dan Apa agamamu?”
Maka, sebagai seorang muslim yang mengharap keselamatan di hari setelah kematian nanti, mulai saat ini, hendakya kita lebih perhatian dengan agama kita dengan jalan mempelajari ilmu agama Islam yang benar dan mengamalkannya. Sehingga kita bisa bersyukur kepada Allah Ta’ala dan merasakan bahwa nikmat Islam ini adalah anugerah terindah dalam hidup kita.
PENGERTIAN ISLAM
Kita sering mendengar nama Islam disebut. Banyak pula yang mengaku memeluk agama Islam. Namun ketika ditanya, “Apa arti agama Islam?” mungkin banyak orang tidak bisa menjawabnya. Bahkan mungkin juga seorang yang punya latar belakang akademik duniawi yang tinggi (mahasiswa, dosen, guru, dst) kesulitan untuk memaparkan hal ini. Kenapa? Karena kebanyakan dari kita tidak mau serius mempelajari agama kita.
Memang mempelajari agama ini banyak godaannya, ada yang sibuk kerja, kuliah, belajar, atau bahkan hanya sibuk bermain, dst. Tapi anehnya, jika ingin mendapatkan tujuan duniawi (gelar sarjana, pekerjaan, dst) mereka 100% berkonsentrasi untuk mencapainya. Giliran agama, sebagian dari mereka tidak mau memalingkan wajah untuk mendapatkanya. Padahal, di akherat kelak, yang mampu menyelamatkan kita adalah bekal ilmu agama yang kita amalkan, bukan selainnya. Kita harus menyadari itu.
Pembaca yang budiman, definisi agama Islam yang mulia ini, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah
الإِسْلَامُ هُوَ إِسْتِسْلَامُ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَالْإِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِرْكِ وَأَهْلِهِ
“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”
Kita perjelas satu persatu definisi tersebut.
1.  Al istislamu lillahi bit tauhid, artinya: Berserah diri kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.        Artinya kita benar-benar melakukan peribadatan dan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah Ta’ala. “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Untuk mempermudah pemahaman, sebagai contoh, sebagian besar dari saudara kita masih sulit meninggalkan kepercayaan pada ramalan bintang (zodiak) dan penentuan nasib baik dan buruk berdasarkan hal ini (artinya ia menggantungkan urusannya dan pengharapannya pada sesuatu selain Allah Ta’ala). Padahal perkara ghaib hanyalah Allah Ta’ala yang mengetahui. Dan setelah berusaha untuk mencapai tujuan/cita-citanya, hanya kepada Allah-lah seseorang harus menggantungkan segala urusannya.
Akhirnya, dari perkara yang sulit ditinggalkan ini merambat ke hal-hal lain yang juga merupakan bentuk-bentuk kesyirikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Maka untuk poin pertama ini, kita harus memperbaiki ilmu tentang tauhid. Dan janganlah merasa aman dan merasa pintar sehingga mengatakan “Ah, bosan pembahasannya tauhid terus.” Bukankah Rasulullah  berdakwah di Makkah selama 13 tahun untuk menanamkan pondasi penting ini kepada para sahabat? Begitu pentingnya tauhid, karena menjadi dasar untuk peribadahan yang lain. Dan begitu pentingnya tauhid ini, agar segala amal ibadah tercatat sebagai amalan ibadah dan tidak terhapus begitu saja oleh kesyirikan. Begitu pula Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala kaumnya juga tidak merasa aman dari syirik dan berdo’a dalam QS. Ibrahim : 35,
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
”Dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”
Dan sebagai contoh arti pentingnya tauhid, tidak akan ada kemenangan besar dalam jihad fi sabilillah jika di dalamnya terdapat hal-hal yang merusak tauhid, seperti jimat, bergantung pada jin, aji tolak bala dan sebagainya.
2.         Wal inqiyaadu lahu bit too’ah. Tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan pada segala perintah-Nya. Artinya, seorang muslim menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Mungkin kita tidak sadar, bahwa selama ini kita belum taat kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah  sebagaimana yang diperintahkan oleh syari’at. Bahkan kita terjatuh pada perilaku orang-orang jahiliyyah yang lebih  mengedepankan ketaatan kepada tetua yang jika ditelusuri ternyata tidak mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan syari’at-Nya. “Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al- Maaidah: 104)
Sebagai contoh kecil, karena sudah dari kecil diajarkan merayakan maulid nabi, isra’ mi’raj dan hari-hari besar yang bahkan dijadikan libur nasional, maka kita menganggap bahwa kita harus tunduk dan ikut merayakannya. Padahal jika benar kita taat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka kita tunduk dan pasrah tidak merayakan hari-hari tersebut karena memang hari-hari tersebut tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
3.         Wal barooatu minasyirki wa ahlihi: Berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Jika seseorang berserah diri hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak kepada yang lain, maka ia akan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena sungguh sia-sialah seluruh amalan seorang muslim jika ia melakukan kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al- An’am: 88)
Contoh dalam masalah ini adalah ucapan selamat natal kepada kaum nasrani. Padahal jelas-jelas natal dirayakan oleh mereka dalam rangka ‘kelahiran’ Yesus (yang dianggap tuhan). Maka jika kita memberi ucapan selamat kepada mereka, ini dapat diartikan menyetujui hari tersebut dan berarti mengakui adanya tuhan selain Allah Ta’ala
Begitulah kesyirikan, kadang samar sekali tak terlihat secara langsung, namun sungguh sangat membinasakan. Oleh sebab itulah, kaum muslimin disarankan membaca do’a sebagai berikut agar segala bentuk kesyirikan yang mungkin secara tidak sadar dilakukan, diampuni oleh Allah Ta’ala.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شََيْئًا وَ اَنَا أَعْلمْهُ وَ أسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dari berbuat kesyirikan kepadamu yang aku ketahui, dan aku memohon ampunanmu dari kesyirikan yang aku tidak ketahui.” (HR. Ahmad)
ISLAM SATU-SATUNYA AGAMA YANG DITERIMA ALLAH TA’ALA
Sebagai penganut agama Islam, kita harus meyakini sepenuhnya bahwa agama kita ini adalah satu-satunya agama yang dipilih dan diterima oleh Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala menyatakan, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali-Imran : 19)
Islam merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta’ala. Tidak ada kebenaran selain Islam, tidak ada agama lain yang benar selain Islam. Maka siapa yang menginginkan agama selain Islam berarti dia memilih kebatilan dan menjadi orang yang tidak beruntung/rugi. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa yang ada di langit dan di bumi,  baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran : 83)
Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85)
KESEMPURNAAN AJARAN ISLAM
Agama yang benar ini telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala dalam segala aspeknya. Semua yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah dijelaskan, sehingga tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya. Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)
Al Hafidhz Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam tafsir-nya berkata, “Ini merupakan nikmat Allah Ta’ala yang terbesar bagi umat ini, dimana Allah Ta’ala telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah Ta’ala menjadikan Nabi ummat ini (Nabi Muhammad) sebagai penutup para Nabi dan Allah Ta’ala mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya.” (Tafsir Al Quranul Adzim 3/14)
Pernah datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab  lalu ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini (QS. Al-Maidah : 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.”) … turun atas kami, niscaya kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya.” Maka Umar  menjawab, “Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat tersebut, ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum’at.” (HR. Bukhari no. 45).
Ayat yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan hari turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu membuat-buat hari raya baru karena Allah menurunkannya tepat pada hari besar yang dirayakan oleh seluruh kaum Muslimin, yaitu hari Arafah dan hari Jum’at.
Rasulullah  sebagai utusan Allah Ta’ala kepada umat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah Ta’ala dengan sempurna. Maka tidaklah beliau  wafat melainkan beliau  telah menjelaskan kepada umatnya segala hal yang mereka butuhkan.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah  , ia berkata, “Sungguh Nabi  berkhutbah di hadapan kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun perkara yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan ilmunya…” (HR. Bukhari no. 6604)
Dari Abu Zaid Amr bin Akhthab , ia berkata, “Rasullullah  shalat Shubuh bersama kami. (Selesai shalat) beliau naik ke mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Dhuhur, beliau turun dari mimbar dan shalat Dhuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Ashar, kemudian beliau turun dari mimbar dan shalat Ashar. (Setelah shalat Ashar) beliau naik ke mimbar lalu mengkhutbahi kami hingga tenggelam matahari. Dalam khutbah tersebut beliau mengabarkan pada kami apa yang telah berlangsung dan apa yang akan berlangsung” (HR. Muslim 4/2217)
Segala perkara telah dijelaskan oleh agama Islam, mulai dari hal yang dianggap kecil sampai hal-hal besar ada aturannya. Inilah yang menyebabkan orang-orang musyrikin, Yahudi dan Nasrani iri hati dan dengki kepada umat Islam. Seorang sahabat Salman Al Farisi  berkata, “Kaum musyrikin berkata kepada kami, “Apakah Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai(masalah) tata cara buang air?”  Maka Salman  menjawab, “Benar, sungguh beliau  telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, beliau  melarang kami beristinja’ (membersihkan kotoran setelah buang air) dengan tangan kanan, dan beliau  melarang kami beristinja’ kurang dengan 3 batu, dan melarang kami beristinja’ dengan kotoran atau tulang” (HR. Muslim no. 262)
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Segala hal terkait dengan masalah dunia dan akhirat, perkara kecil hingga perkara besar telah dijelaskan. Tidak ada satu-pun masalah yang tidak diatur oleh agama kita. Masalah tentang surga, neraka, atau masalah negara, ekonomi, akhlaq, hukum, bahkan hingga teknologi, semua ada aturannya. Sekarang tinggal kita-nya yang mau mengetahui aturan tersebut atau tidak.
Berkata Imam Az-Zuhri -rahimahullah-, “Dari Allah Ta’ala risalah (Islam) ini datang, Rasulullah  hanyalah menyampaikan, dan kewawjiban kita adalah menerimanya”. Dan Syaikh Muhammad bin Amin As-Sinqithi, “Diantara kebaikan Islam adalah bersifat umum (untuk  jin dan manusia), sempurna (tidak ada cacat dan kurang), universal (mencakup seluruh aspek kehidupan manusia).
Maka, hendaknya kita segera sadar untuk memperbaiki diri kita, lebih serius mempelajari dan mengamalkan agama kita. Jangan berkata “nanti” karena kita tidak tahu kapan kita akan menghadap Tuhan kita. Kalau kita tidak menyiapkan diri dari sekarang, kapan lagi?

Oleh : Tim Redaksi Buletin Istiqomah, Maraji’ : Syarah Tsalatsatul Ushul ; Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dst.