Di dalam al Qur`an, Allah telah menyifati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dengan banyak sifat terpuji. Di antaranya, Allah menyifati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat ini, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Salah satu bentuk kesempurnaan keinginan beliau yang kuat agar umatnya beriman dan selamat adalah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari
segala sarana yang dapat menggiring kepada
kesyirikan, dan menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan kepada
perbuatan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar
bersikap keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap
luput menekankan bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan
saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendekati masa-masa
sakaratul maut.
Salah
satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik,
yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini
telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi
kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi
beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi
telah beribadah kepada orang shalih yang menghuni kuburan tersebut.
Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan
lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam
peribadahan di sisinya, seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an,
thawaf, sedekah dan sebagainya.
Padahal
dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat
diketahui, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat keras sikap
nya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan
orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih
keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Berikut adalah hadits-hadits mengenai larangan tersebut :
1.
Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari’ Aisyah
Radhiyallahu ‘anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha (salah seorang
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menceritakan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja dengan
rupaka-rupaka di dalamnya yang dilihatnya di Negeri Habasyah (Ethiopia).
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُولَئِكَ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ؛ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِداً وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka
itu, apabila ada orang yang shalih -atau hamba yang shalih- meninggal
di antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah,
dan mereka buat di dalam tempat itu gambar-gambar mereka; mereka itulah
makhluk yang paling buruk di hadapan Allah.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun masjid-masjid di atas pekuburan, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan hal itu. Perbuatan itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang secara nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun masjid-masjid di atas pekuburan, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan hal itu. Perbuatan itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang secara nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.
Al
Baidhawi berkata: “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani bersujud
kepada kuburan para nabi dengan maksud mengagungkan derajat mereka, dan
menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai kiblat, yang mereka
menghadap dalam shalat, serta menjadikannya sebagai berhala-berhala,
maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka”.
Imam
al Qurthubi berkata,”Mula-mula, para pendahulu mereka memahat
gambar-gambar tersebut agar mereka dapat menjadikannya sebagai suri
teladan dan mengenang perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat
memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka; karenanya,
mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan-kuburan mereka. Kemudian
setelah mereka meninggal, datanglah generasi yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup terhadap agama, sehingga tidak mengerti maksud
dari pendahulu mereka tersebut; lalu setan merasuki mereka dengan
menyatakan, bahwa para pendahulu mereka tersebut sebenarnya telah
menyembah rupaka-rupaka ini dan mengagungkannya. Oleh karena itu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terjadinya hal tersebut untuk
menutup segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”(Mereka dikatakan sebagai
makhluk yang paling buruk), karena memadukan dua fitnah sekaligus. Yaitu
fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah di atasnya dan
fitnah membuat gambar-gambar.” Keduanya disebut fitnah, karena
memalingkan manusia dari agama.
Beliau
rahimahullah juga berkata,”Hal inilah yang dipakai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk melarang membangun
masjid-masjid di atas kuburan-kuburan, karena telah banyak menjerumuskan
umat-umat sebelumnya, baik ke dalam syirik besar maupun syirik lainnya
yang lebih ringan. Banyak orang cenderung melakukan perbuatan syirik
terhadap patung orang shalih dan patung-patung yang mereka anggap bahwa
ia merupakan garis-garis rajah dari bintang-bintang, dan hal lain yang
serupa dengan bintang. Ini terjadi, karena berbuat syirik dengan
menyembah kuburan orang yang diyakini keshalihannya lebih terasa di
dalam jiwa, daripada berbuat syirik dengan menyembah pohon atau batu.
Oleh
karena itu pula, Anda mendapatkan ahli syirik memohon di sisi kuburan
dengan penuh kesungguhan, penuh kekhusyuan dan sikap berserah diri,
serta menyembahnya dengan sepenuh hati, padahal ibadah yang seperti itu
tidak pernah mereka lakukan di rumah-rumah Allah ataupun di waktu tengah
malam menjelang Subuh. Di antara mereka ada yang bersujud kepada
kuburan itu. Ketika melakukan shalat dan berdoa di sisi kuburan
tersebut, kebanyakan mereka mengharapkan keberkahan, yang tidak pernah
mereka harapkan ketika berada di masjid-masjid.
Lantaran
perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, maka dengan tanpa ragu,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikisnya. Sampai-sampai beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di pekuburan secara
mutlak, meskipun orang melakukannya tidak dengan maksud mengharapkan
berkah tempat tersebut sebagaimana ia mengharapkannya ketika shalat di
dalam masjid. Begitu pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
umatnya melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari,
karena waktu-waktu tersebut digunakan oleh kaum musyrikin untuk
menyembah matahari. Karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang umatnya shalat pada waktu-waktu tersebut, meskipun mereka tidak
memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kaum musyrikin tadi. Hal ini
sebagai upaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup rapat
celah-celah menuju kesyirikan.
Adapun
bila seseorang melakukan shalat di sisi kuburan dengan maksud untuk
mendapatkan keberkahan melalui shalat di sisi kuburan tersebut, maka ini
jelas merupakan sikap memusuhi Allah dan RasulNya, melanggar aturan
agamaNya, mengada-adakan sesuatu di dalam agama yang tidak pernah Allah
izinkan. Kaum muslimin telah bersepakat secara ijma’, bahwa di antara
perkara-perkara mendasar dalam agama, yaitu mengetahui bahwa shalat di
sisi kuburan adalah dilarang. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat orang yang mengfungsikan kuburan sebagai masjid. Karena
itu, di antara perbuatan mengada-ada (bid’ah) yang paling besar dan
merupakan sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah melakukan shalat di
sisi kuburan dan mengfungsikannya sebagai masjid, serta mendirikan
masjid-masjid di atasnya. Nash-nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang melarang hal itu, dan memperingatkan pelakunya secara keras
sangatlah banyak dan mutawatir. Seluruh kelompok umat secara jelas dan
terang-terangan melarang untuk mendirikan masjid-masjid di atasnya,
karena mereka mengikuti sunnah yang shahih dan sharih (jelas).
Para
ulama pengikut Imam Ahmad dan ulama yang lain, yakni pengikut Imam
Malik dan Imam Syafi’i, secara terang-terangan mengharamkan perbuatan
tersebut. Ada juga yang menyatakan, hal itu sebagai perbuatan makruh,
namun sepatutnya membawa maknanya kepada karahah at tahrim (makruh yang
berindikasi pengharaman) sebagai tanda bersangka baik kepada para ulama
yang menyatakan demikian, sehingga mereka tidak disangka membolehkan
perbuatan yang secara mutawatir dilarang oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan pelakunya beliau laknat.”
2.
Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa
ia pernah berkata: Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hendak diambil nyawanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera
menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika dalam
keadaan demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)”.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu saat mendekati
kematiannya, untuk memperingatkan umatnya dari perbuatan mereka (Yahudi
dan Nasrani) itu. Seandainya bukan karena peringatan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut, niscaya kubur beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan ditampakkan; hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir, jika (kubur beliau) akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh menjelaskan, ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Pertama :
Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa
dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai
masjid’ ialah, menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan
shalat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan sarana yang
sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan kepada syirik dan
berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua :
Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam
bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan
menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan dirinya.
Masjid
di sini bukan lagi semata-mata berarti tempat sujud –meletakkan dahi di
atas tanah–, tetapi berarti tempat merendahkan dan menghinakan diri.
Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, maksudnya,
menjadikannya sebagai kiblat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang shalat ke arah kuburan, karena merupakan salah satu
sarana kepada sikap pengagungan kuburan.
Ketiga :
Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu
adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat
bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu
sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai tempat beribadah dan
shalat.
Adapun
perkataan ‘Aisyah bahwa ‘beliau memperingatkan (umatnya) dari perbuatan
mereka (Yahudi dan Nasrani)’, maka di dalamnya terdapat isyarat yang
menjadi penyebabnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sedang
dalam keadaan sakaratul maut, melaknat Yahudi dan Nasrani dalam hadits
ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperingatkan para
sahabatnya agar jangan sampai mengikuti langkah-langkah kedua Ahli Kitab
tersebut. Dan ternyatalah mereka, para sahabat, menerima peringatan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dan mengamalkan wasiat beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian
perkataan ‘Aisyah ‘dan seandainya bukan karena hal itu, niscaya kuburan
beliau ditampakkan’. Maksudnya, kalau bukan karena peringatan dan
kekhawatiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam bahwa
kuburan beliau dijadikan masjid oleh umatnya sebagaimana orang Yahudi
dan Nasrani, niscaya kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada
di luar rumahnya, berdampingan dengan kuburan-kuburan para sahabat di
Baqi atau selainnya. Di samping alasan ini, ada juga alasan lain, yaitu
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disampaikan
oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ يُقْبَرُونَ حَيْثُ يُقْبَضُونَ
Adapun
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dimaklumi, bahwa
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di dalam rumah ‘Aisyah.
Kemudian
perkataan ‘Aisyah selanjutnya ‘hanya saja beliau khawatir (kuburannya)
akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, terdapat dua riwayat.
Berdasarkan
riwayat pertama, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendirilah yang mengkhawatirkan hal tersebut, sehingga beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk
menguburkannya di tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Sedangkan berdasarkan riwayat kedua, maka kemungkinan yang
mengkhawatirkan hal itu adalah para sahabat. Artinya, mereka khawatir
hal itu terjadi pada sebagian umat sehingga mereka pun tidak menampakkan
kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dikhawatirkan umat
Islam berlebih-lebihan dan terlalu mengagung-agungkan kuburan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditampakkan.
Imam
al Qurthubi berkata,”Oleh karena itulah, kaum muslimin berusaha semampu
mungkin menutup jalan yang mengarah kepada pemujaan kuburan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara meninggikan dinding tanahnya
dan menutup rapat pintu-pintu masuk ke arahnya dengan menjadikan
dindingnya mengitari kuburan beliau. Mereka pun takut apabila letak
kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan
kiblat bagi orang-orang yang melakukan shalat sehingga seakan shalat
yang menghadap ke arahnya tersebut merupakan suatu wujud beribadah.
Karenanya, mereka kemudian membangun dua dinding dari dua sudut kuburan
bagian utara, dan mengalihkan keduanya hingga bertemu pada sudut yang
membentuk segitiga dari arah utara sehingga tidak memungkinkan siapa pun
untuk menghadap ke arah kuburan beliau.”
3.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: “Aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda lima hari sebelum beliau wafat, ‘Sungguh aku menyatakan
kesetiaanku kepada Allah dengan menolak, bahwa aku mempunyai seorang
khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah
menjadikan aku sebagai khalil. Seandainya aku menjadikan seorang khalil
dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan
kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, maka janganlah kamu
sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar
melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”
Al
Khalili berkata,”Pengingkaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap perbuatan mereka tersebut dapat diartikan dengan dua makna.
Pertama, mereka bersujud terhadap kuburan para nabi untuk mengagungkan
utusan Allah tersebut. Kedua, mereka memang menganggap boleh melakukan
shalat di kuburan para nabi dan menghadap ke arah ketika melakukan
shalat, karena mereka memandang hal itu sebagai bentuk ibadah kepada
Allah dan cerminan sikap pengagungan yang sangat kepada para nabi
tersebut.
Makna
pertama merupakan syirik jaliy (bentuk syirik yang jelas). Sedangkan
makna kedua merupakan syirik khafiy (bentuk syirik yang tersembunyi).
Oleh karena itu, mereka layak untuk dilaknat.”
Syaikh
Shalih Alu asy Syaikh berkata,”Keterkaitan hadits ini dengan
permasalahan sikap keras Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan menjadikan kuburan
para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah),
meskipun mungkin saja orang yang melakukannya beribadah hanya kepada
Allah. Hal itu, karena perbuatan tersebut termasuk di antara
sarana-sarana yang mengantarkan kepada syirik besar. Telah ditetapkan di
dalam kaidah-kaidah syariat dan telah disepakati oleh para muhaqqiq,
bahwa menutup pintu (celah) yang mengantarkan kepada kesyirikan dan
kepada perbuatan haram adalah wajib; karena syariat datang untuk menutup
pokok-pokok perbuatan-perbuatan haram dan menutup celah-celah menuju
kepadanya. Sehingga wajib menutup setiap pintu dari pintu-pintu
kesyirikan kepada Allah. Di antara pintu-pintu itu ialah, menjadikan
kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Karena itu,
tidak sah shalat yang dilakukan di dalam masjid yang dibangun di atas
kuburan karena hal itu menafikan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang, namun orang-orang itu
melakukannya, padahal larangan beliau tertuju kepada tempat shalat itu
dilakukan sehingga shalatnya pun batal. Jadi, orang yang shalat di dalam
masjid yang dibangun di atas kuburan, maka shalatnya batal, tidak sah
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ketahuilah,
janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid’, maksudnya, dengan
membangun masjid di atasnya dan shalat di sekitarnya, ‘karena sungguh
aku larang kalian darinya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (pada) menjelang akhir hayatnya
(sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jundub) telah melarang umatnya
untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam
keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah–
beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu. Shalat di sekitar
kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat
ibadah walaupun tidak membangunnya. Inilah makna kata-kata Aisyah
‘dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, karena para
sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kubur
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal setiap tempat yang
digunakan untuk melakukan shalat di dalamnya, itu berarti sudah
dijadikan sebagai masjid; bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk
shalat disebut masjid sebagai yang telah disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Telah dijadikan bumi ini untukku
sebagai masjid dan sebagai sarana bersuci.”.
Kesimpulannya :
Shalat di kuburan tidak boleh, baik itu shalat menghadap ke arahnya,
atau shalat di dekatnya karena mengharap berkah tempat tersebut, atau
tidak mengharap berkahnya, tetapi hanya shalat nafilah (selain shalat
jenazah). Semua itu tidak boleh. Baik di atas kuburan itu ada bangunan,
seperti masjid, atau tidak bangunan di atasnya, maka shalat di atasnya
tetap tidak boleh.
Di
dalam Shahih al Bukhari, terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Jadikanlah di antara shalat kalian itu dilakukan
di rumah-rumah kalian, dan jangan di kuburan.” Juga disebutkan di dalam
Shahih al Bukhari perkataan beliau kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika
melihat sekelompok orang shalat di dekat sebuah kubur ‘kuburan,
kuburan’, maksud beliau, jauhilah kuburan, jauhilah kuburan. Ini
menunjukkan, shalat di kuburan tidak diperbolehkan, karena merupakan
pengantar kepada kesyirikan. Lebih parah lagi jika di kuburan tersebut
dibangun bangunan, lalu menjadikan bangunan-bangunan sekitar kuburan itu
sebagai masjid untuk shalat, berdoa, membaca al Qur`an, dan semisalnya.
Maraji:
1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
2. At Tamhid li Syarhi Kitab at Tauhid, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
3. Al Qaul al Mufid, Jilid I, karya Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah ]
Penulis : Abu Nida` Chomsaha Sofwan
Penulis : Abu Nida` Chomsaha Sofwan